Selasa, 17 Agustus 2010

Friksi Vatikan dan Eropa atas Kasus Skandal Seks Gereja

Paus Benediktus XVI

Menyusul munculnya kembali kasus tudingan pelecehan seksual anak-anak di kalangan rohaniawan Katolik, Aparat kepolisian Belgia menggerebek markas besar gereja Katolik Belgia. Penggerebekan ini dilakukan menyusul dugaan-dugaan baru mengenai kekerasan seksual anak yang melibatkan para pastur.

Ini merupakan pukulan terbaru bagi gereja Katolik yang didera berbagai skandal seks pastur paedofil. Penggerebekan ini dilakukan di saat berlangsungnya pertemuan para uskup di Mechelen, sebelah utara Brussels. Pertemuan itu dihadiri duta besar Vatikan untuk Belgia.

Menurut Vatikan, razia ke kantor-kantor gereja seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan di negara komunis sekalipun . Paus Benekdiktus mengecam apa yang disebutnya cara-cara yang “mengherankan dan disayangkan” oleh polisi Belgia ketika menggerebek kantor-kantor gereja Katolik sehubungan kasus pelecehan seks anak-anak. Menteri Luar Negeri Vatikan, Kardinal Tarcisio Bertone, mengatakan penahanan uskup adalah “serius dan sulit dipercaya”. Padahal di masa komunis pun praktik semacam itu tidak pernah terjadi.

Tidak hanya cukup dengan melontarkan kecaman dan kritikan saja, Gereja Vatikan bahkan memanggil duta besar Belgia untuk dimintai keterangan. Menanggapi tanggapan reaksional Vatikan, Menteri Kehakiman Belgia, Stefaan De Clerk justru menampik balik kritikan tersebut. Dalam rangkaian wawancaranya di televisi, Stefaan membela penyelidikan yang dilakukan polisi Belgia dan menyebutnya sebagai aksi yang legal dan lumrah. Sebaliknya, ia malah menyebut reaksi Vatikan terlalu berlebihan, lantaran didasarkan pada informasi yang tidak benar.

Namun yang membuat Vatikan begitu marah adalah aksi penyegelan kediaman keuskupan Katolik Belgia, Uskup Agung Godfried Danneels yang sudah pensiun di Mechelen, sedikit di utara Brussels. Polisi menyegel rumah tersebut untuk mencari beragam barang bukti dan berkas-berkas yang diperlukan termasuk dengan menyita sebuah komputer. Polisi juga menahan 9 uskup yang hadir di sana. Menurut laporan kepolisian Belgia, hingga kini pihak kepolisian telah mencatat adanya 15 kasus pelecehan seksual anak.

Sebagaimana gereja-gereja katolik di belahan dunia lainnya, gereja katolik di Belgia juga tak luput dari skandal kekerasan seksual anak. Rangkaian kasus itu kembali merebak sejak tahun lalu di berbagai negara di Eropa, juga Amerika Serikat dan Brasil. Hingga mendorong pemimpin gereja Katolik dunia, Paus Benediktus XVI meminta maaf atas skandal-skandal tersebut.

Sebagaimana diketahui, masyarakat katolik Belgia terguncang hebat April lalu ketika Uskup Roger Vangheluwe mengaku telah melakukan pelecehan seksual atas sejumlah anak laki-laki sebelum dan setelah ia menjadi uskup. Ia adalah pejabat gereja pertama yang mengundurkan diri karena skandal seks tersebut dan terbilang sebagai uskup yang disegani.

Terkuaknya kasus memalukan itu memicu beragam kecaman dan kritikan luas publik dan media terhadap Paus Benediktus XVI. Ironisnya, jumlah kasus kekerasan seksual anak di kalangan pastur itu sudah melampaui angka 100 ribu. Karena itu, skandal ini tak lagi bisa disebut hanya sekedar aksi kriminal dua atau tiga pastur bejat, tapi sudah menjadi fenomena akut di lingkungan gereja katolik. Dengan banyaknya kasus asusila ini, bisa dikatakan gereja Katolik telah didera krisis moral. Munculnya krisis moral di tengah masyarakat Barat yang menyebar hingga di lingkungan gereja, nicscaya bakal memberikan dampak yang sangat buruk bagi gereja Katolik.

Tumbangnya nilai-nilai moral dan spiritual di kalangan masyarakat Barat dan maraknya pemikiran anti-moral seperti sekte penyembah setan mengakibatkan jumlah penganut katolik setiap tahunnya makin menurun. Generasi muda di negara-negara Barat, tak lagi tertarik untuk pergi ke Gereja dan bersikap cuek dengan norma dan nilai-nilai moral. Karuan saja, dalam situasi semacam itu, terbongkarnya kasus kekerasan seksual anak di lingkungan rohaniawan Katolik, tentu merupakan pukulan berat otoritas gereja. Gereja yang semestinya menjadi pusat penyebaran spiritualitas dan nilai-nilai moral, ternyata malah menjadi tempat kebejatan para pemangkunya.

Tentu saja, Pemimpin Tertinggi Katolik Sedunia, Paus Benediktus XVI adalah pihak yang paling terpukul dengan munculnya skandal tersebut. Hasil jajak pendapat terbaru di Jerman menunjukkan, 45 persen responden menilai buruk kepemimpinan Paus Benediktus XVI. Rakyat Jerman memprotes pedas sikap diam Paus Benediktus XVI terkait skandal pelecehan seksual ini. Padahal tiga tahun lalu, hanya delapan persen warga yang mengakui kepemimpinan Paus lemah. Menurunnya reputasi dan kepercayaan warga Jerman terhadap Paus memunculkan kekhawatiran akan munculnya gelombang kemurtadan warga Jerman dari Gereja Katolik. Bahkan kekhwatiran seperti itu tidak hanya terbatas di Jerman tetapi juga negara-negara lain.

Paus Benediktus XVI secara tidak langsung punya hubungan dengan lembaga gereja di kota Munich. Ia pernah menjadi Uskup Agung di kota tersebut saat terjadi kasus pelecehan seksual di lingkungan gereja Munich. Karena itu ia pun dituding mengenal dengan baik skandal semacam itu.

Satu-satunya hubungan langsung antara Paus dan skandal pelecehan seksual terhadap anak-anak terkait dengan seorang pendeta bernama Peter Holerman. Pendeta Holerman dipindah dari kota Essen ke Munich akibat skandal pelecehan seksual dan pada waktu itu, Paus Benediktus XVI yang menjadi Uskup Agung di sana.

Paus ternyata menyetujui perpindahan itu dengan syarat setiap pekan ia harus memeriksakan dirinya ke psikiater dan pusat-pusat pengobatan lainnya. Namun pada saat yang sama, Holerman telah memulai kerjanya di sebuah tempat di gereja yang punya hubungan langsung dengan anak-anak. Ternyata di kota ini Holerman belum kapok dan melakukan aksi pedophilia yang sama dan akhirnya dipidana satu tahun penjara di potong masa tahanan.

Opini publik dan media-media Barat menanggapi terkuaknya kasus tersebut dengan beragam reaksi. Sejumlah kalangan dari kristen protestan menilai bahwa munculnya setan di Vatikan merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya skandal asusila ini. Sebagian lagi menilai, akar masalah dari maraknya kasus pelecehan seksual di kalangan rohaniawan katolik bersumber dari aturan gereja yang melarang para pastur untuk menikah. Para kritikus menegaskan, gereja Katolik harus segera menjawab dan memberikan penjelasan terhadap tudingan yang menilai larangan menikah bagi para pastur sebagai biang utama munculnya skandal seks di lingkungan gereja.

Ironisnya, aturan tersebut tampaknya seperti hukum absolut yang tak bisa diubah. Paus Benediktus XVI sama sekali tidak ada niat untuk menghapus larangan itu. Para kardinal berpengaruh di Vatikan meyakini bahwa aturan itu merupakan prinsip yang tidak bisa diubah dan tak layak dijadikan sebagai biang kebejatan moral para pastur.

Menghadapi beragam tekanan dan kecaman publik terhadap maraknya skandal moral para pastur, Gereja Vatikan pun berkali-kali berusaha meredam kemarahan publik dengan menyatakan rasa penyesalan dan permintaan maaf secara terbuka kepada publik. Namun dengan menumpuknya aksi kejahatan seksual para rohaniawan katolik, maka kata maaf dan penyesalan pun tak lagi mampu meleraikan kemarahan publik.

Menghadapi kenyataan ini, terpaksa mendorong kalangan pemerintah negara-negara Barat turun tangan langsung. Di kawasan Eropa, Belgia terbilang sebagai pelopor yang mengawali penyelidikan kasus tersebut hingga membuat Paus Benediktus seakan kebakaran jenggot. (IRIB/LV)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sabily