Minggu, 22 Agustus 2010

Definisi Al Qur'an (Menjawab berbagai pernyataan kaum Kafir)

(Arti : al-Qur'an). Kalam (perkataan) Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya (QS.Asy-Syuara [26] : 192-195). Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.

Al-Qur'an sebagai kitab Allah (kitab Allah) menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam dan berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Kata Al-Qur'an berasal dari kata kerja qara'a yang berarti membaca dan bentuk masdar (kata dasar) nya adalah qur'an yang berarti bacaan. Al-Qur'an dengan makna bacaan dinyatakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam beberapa ayat, antara lain dalam surah al-Qiyamah [75] ayat 16-18,Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

QS. Al-Baqarah [2] ayat 185. Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil.......,

QS. Al-Hijr [15] ayat 87 Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Qur'an yang agung.,

QS. Thaha [20] ayat 2-3. Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut kepada Allah,

QS. An-Naml [27] ayat 6. Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur'an dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

QS. Al-Ahqaf [46] ayat 29, Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur'an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.

QS. Al-Waqi'ah [56] ayat 77, Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia,

QS. Al-Hasyr [59] ayat 21, Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.  Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.

QS. Al-Insan [76] ayat 23, Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur'an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.  

QS. Al-Isra' [17] ayat 88. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".

Al-Qur'an mempunyai beberapa nama, di antaranya adalah :

Alkitab atau Kitab Allah

QS.Al-Baqarah [2] : 2. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,.

QS. Al-An’am [6] : 114 Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci?  Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.

Al-Furqan yang berarti pembeda antara yang benar dan yang batil

QS. Al-Furqon [25] : 1 .Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam,

Az-Zikr yang berarti peringatan

QS.Al-Hijr [15] :9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an (Az-Zikr), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

At-Tanzil yang berarti diturunkan

QS. Asy-Syuara [26] : 192. Dan sesungguhnya Al Qur'an (At-Tanzil)  ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,

Selain itu nama Al-Qur'an ialah Al-Huda (petunjuk), Ar-Rahmah (kasih), Al-Majid (mulia), Al-Mubarak (pembawa berkah), dan An-Nazir (pemberi per ingatan).

Imam as-Suyuti (1) dalam bukunya al-Itqan fi'Ulum Al-Qur'an (Tentang Ilmu-Ilmu Al-Qur'an) juga menyebut beberapa nama, yaitu Al-Mubin (penjelas), Al-Karim (yang mulia), Al-Kalam (fir man Tuhan), dan An-Nur (cahaya).

Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat Al-Qur'an.

Imam al-Gazali (2) dalam kitab al-Mustasfa min 'Ilm al-Usul (suatu kitab yang membahas masalah-masalah usul fikih) menjelaskan bahwa hakikat Al-Qur'an adalah kalam yang berdiri pada Zat Allah SWT, yaitu salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah SWT yang kadim (tidak bermula). Menurut mutakalimin (ahli teologi Islam), hakikat Al-Qur'an ialah makna yang berdiri pada Zat Allah SWT.

Adapun menurut golongan Muktazilah (3), ha kikat Al-Qur'an adalah huruf-huruf dan suara yang diciptakan Allah SWT yang setelah berwujud lalu hilang dan lenyap. Dengan pendapat ini kaum Muktazilah memandang Al-Qur'an sebagai makhluk (ciptaan) Allah SWT. Karena itu, Al-Qur'an bersifat baru, tidak kadim.

Imam AS-SUYUTI (1)

(Cairo, 1 Rajab 849/3 Oktober 1445-18 Jumadilawal 911/17 Oktober 1505). Seorang ulama besar dan penulis kitab yang produktif da lam berbagai disiplin ilmu. Nama lengkapnya Abu al-Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Mu hammad Jalaluddin as-Suyuti.

As-Suyuti hidup pada masa Dinasti Mamluk pada abad ke-15. la berasal dari keluarga keturunan Persia yang semula bermukim di Baghdad, kemudian pindah ke Asyut. Keluarga ini termasuk orang terhormat pada masanya dan ditempatkan pada posisi-posisi penting pemerintahan pada waktu itu. Bapaknya menjadi salah seorang guru fikih di salah satu madrasah di Cairo. Ketika as-Suyuti berumur 6 tahun (855 H/1451 M), ayahnya meninggal dunia, dan dia kemudian diasuh oleh seorang sufi, teman dekat ayahnya.

Sebagaimana biasanya anak-anak pada zaman itu, as-Suyuti memulai pendidikannya dengan pelajaran membaca Al-Qur'an dan pendidikan agama lainnya pada tahun 864 H/1460 M. Dari satu kota ia pindah ke kota lain untuk menuntut ilmu agama dengan berbagai cabangnya kepada guru-guru yang terkenal saat itu.

Sesudah menunaikan ibadah haji ke Mekah pada tahun 869 H/1463 M, ia kembali ke Cairo untuk mengabdikan ilmu yang ia terima sebelumnya. Semula ia mengkhususkan diri untuk mengajar masalah-masalah fikih. Atas kecemerlangannya dalam mengajar, ia diangkat menjadi ustad di Sekolah asy-Syaikhuniyyah pada tahun 872 H/1467 M, berdasarkan rekomendasi dari gurunya Syekh al-Bulqaini. Jabatan ini sebelumnya dipegang oleh ayahnya sampai ia meninggal dunia. Selama 12 tahun ia mengabdikan dirinya di sekolah tersebut, lalu pindah mengajar ke al-Baybarsiyyah pada tahun 891 H/1486 M.

Sekolah yang baru ini menurut pendapatnya dan juga pendapat umum waktu itu lebih baik dari asy-Syaikhuniyyah. Di sekolah ini ia juga diangkat menjadi ustad. Akan tetapi karena suatu tindakannya yang tidak disenangi penguasa,ia dibebaskan dari jabatan tersebut pada tahun 906 H/1501 M. la kemudian menetap di Pulau Raudah di Sungai Nil, sampai ia meninggal dunia.

Di samping aktif mengajar ilmu agama Islam, as-Suyuti juga menulis buku dalam berbagai ilmu. Aktivitas mengarang ini telah ia mulai sejak ia berumur 17 tahun. Penguasaannya yang baik atas ber bagai cabang ilmu Islam sangat memperlancar penulisan karangan-karangan tersebut. Menurut catatan para sejarawan, buku-bukunya berjumlah 571 buah, baik berupa karya besar dengan jumlah halaman yang banyak, maupun buku-buku kecil dan karangan-karangan singkat. Bahkan dikatakan bahwa as-Suyuti sangat berjasa dalam menampilkan kembali manuskrip-manuskrip lama yang pada waktu itu telah dianggap hilang.

Di antara karangannya yang terkenal, buku-buku yang dianggap sangat penting dalam bidang tafsir dan ilmu tafsir adalah: Tarjuman al-Qur'an fi Tafsir al-Musnad, kumpulan hadis yang berhubungan dengan penafsiran ayat-ayat  Al-Qur'an; ad-Durr al-Mansur fi Tafsir bi al-Ma'sur (Mutiara yang Bertebaran dalam Penafsiran berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis; 6 jilid); Mufhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur'an(Upaya Mencari Pemahaman Hal-hal yang Sama mengenai Ayat-ayat yang Tidak Tegas dalam Al-Qur'an); Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul (Hal-hal Pokok dalam Persoalan Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an), yang disusun berdasarkan metode al-Wahidi, namun memuat pula tambahan materi berdasarkan temuan-temuannya dari tafsir dan hadis; Tafsir al-Jalalain (telah diterjemahkan ke bahasa Indone sia), penyempurnaan sebuah kitab tafsir yang ditulis gurunya Jalaluddin al-Mahalli; Majma' al-Bahrain wa Matla' al-Badrain, yang memaparkan segala permasalahan furuk dalam Al-Qur'an, tetapi menurut para sejarawan mungkin telah hilang atau tak sempat disempurnakan; dan at-Takhyir fl 'Ulum at-Tafsir, yang kemudian diperluas dengan judul al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an.

Adapun buku-bukunya dalam bidang hadis dan ilmu hadis antara lain adalah: Jami' al-Masanid, yang dikenal juga dengan sebutan Jami al--Jawami' dan al-Jami' al-Kabiral-Jami' as-Sagir fi al-Hadis al-Basyir an-Nazir, ikhtisar dari kitab hadis tersebut pertama; Minhaj al-'Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af’alKanz al-'Ummal fi Subut Sunan al-Aqwal wa al-Af’al (8 jilid); al-Khasa'is an-Nabawiyyah, se buah buku tentang sifat-sifat Nabi SAW; at-Ta'qi-bat 'ala al-Mawjudat, yang memuat masalahmasalah kritik hadis, kemudian disempurnakan dengan judul al-La 'i al-Masnu 'ah fi al-Ahadis al-Maudu 'ah.

Di bidang bahasa dan sastra Arab, as-Suyuti juga menulis beberapa buku, di antaranya al-Mazhar fi'Ulum al-Lugah (ikhtisarnya ditulis dengan judul Samar al-Mazhar) dan al-Iqtirah fi 'Ilm Usul an-Nahaw wa Jidalih. la juga menulis tentang ilmu nahu dengan metode fikih dalam buku al-Asybah wa an-Naza'ir fi an-Nahw. Pada kesempatan lain ia mengumpulkan hadis-hadis khusus tentang permulaan ilmu nahu dalam al-Akhbar al-Marwiyyah fi Sabab wad' al-'Arabiyyah. Kemudian ia juga mensyarah kitab Alfiyah Ibn Malik di bawah judul al-Bahjah al-Murdiyyah. Kitab lainnya adalah al-Faridah fi an-Nahw wa at-Tasrif wa al-Khatt.

Dalam bidang-bidang lain as-Suyuti juga me nulis banyak buku. Dalam bidang sejarah, ia me nulis Bada'i' al-Zuhur fi Waqa'i' ad-Duhur, Tarikh al-Khulafa', dan Husn al-Muhddarah fi Akhbar Misr wa al-Qahirah. Kemudian dalam bidang sastra terdapat MaqamatAnis al-Jalis, dan sebagainya. Selanjutnya ia juga diketahui menulis buku-buku yang berhubungan dengan hari akhirat, kubur dan alam barzakh, di antaranya at-Tazkirah bi Ahwal al-Mauta wa Ahwal al-Akhirah, kemudian disyarah dengan judulSyarh Sudur bi Syarh Hal al-Mauta  wa al-Qubur, at-Tasbit 'ind at-Tanbit, dan Kitab ad-Durar al-Hisan, al-Hissan fi al-Ba'si wa Na'im al-Jinan. Bukunya yang terkenal dalam bidang kaidah fikih adalah al-Asybah wa an-Naza'ir fi Qawa'id wa Furu'Fiqh asy-Syafi'i. Dalam kitab ini, secara gamblang dengan contoh-contoh penerapan, ia sebagai penganut Mazhab Syafi'i berusaha menjelaskan kandungan al-Qawa'id al-Khamsah (lima kaidah) yang berlaku dalam Mazhab Syafi'i.

Imam AL-GAZALI (2)

(450-505 H/1058-19 Desember 1111 M). Nama lengkapnya ialah Abu Hamid Mu hammad bin Muhammad at-Tusi al-Gazali, seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, teolog, filsuf, dan sufi termasyhur. la lahir di kota Gazalah, sebuah kota kecil dekat Tus di Khurasan, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam, meninggal di kota Tus setelah mengadakan perjalanan untuk mencari ilmu dan ketenangan batin. Nama al-Gazali dan at-Tusi dinisbahkan kepada tempat kelahirannya.

la lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup sederhana. Ayahnya seorang pemintal wol di kota Tus. Latar belakang pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Qur'an pada ayahnya sendiri. Sepeninggal ayahnya, ia dan saudaranya dititipkan pada teman ayahnya, Ahmad bin Muhammad ar-Razikani, seorang sufi besar. Padanya al-Gazali mempelajari ilmu fikih, riwayat hidup para wali, dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu, ia bela jar juga menghafal syair-syair tentang mahabbah (cinta) kepada Tuhan, Al-Qur'an dan sunah.

la kemudian dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di sini gurunya adalah Yusuf an-Nassj, juga se orang sufi. Setelah tamat, ia melanjutkan pelajarannya ke kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiatan ilmiah. Di sini ia mendalami penge tahuan bahasa Arab dan Persia, di samping belajar pengetahuan agama. Gurunya di antaranya Imam Abu Nasr al-Isma'ili. Karena kurang puas, ia kem bali ke Tus. Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Nisabur dan di sana memasuki Madrasah Nizamiyah yang dipimpin oleh ulama besar, Imam al-Haramain al-Juwaini, salah seorang tokoh aliran Asy'ariah. Melalui al-Juwaini, al-Gazali memperoleh ilmu usul fikih, ilmu mantik, dan ilmu kalam. Karena dinilai berbakat dan berpotensi, ia diangkat menjadi asistennya. la kemudian dipercaya untuk menggantikan al-Juwaini mengajar setiap kali gu runya berhalangan datang atau dipercaya mewakilinya sebagai pimpinan Nizamiyah. Di Nisabur inilah bakatnya dalam menulis berkembang.

Al-Gazali menulis hampir 100 buah buku. Buku-bukunya itu meliputi berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (teologi Islam), fikih (hukum Islam), tasawuf, filsafat, akhlak, dan autobiografi. Karangannya itu ditulis dalam bahasa Arab atau Persia. Di antara kitab-kitabnya yang terkenal ialah Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filsuf) dan kitab Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), yang keduanya mengenai filsafat. Bukunya dalam bidang keagamaan ialah Ihya' 'Ulum ad-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), dan al-Munqiz min ad-Dalai (Penyelamat dari Kesesatan). Buku-buku karangannya ini pada umumnya berisi kritikan-kritikan dan komentar terhadap pemikiran fil suf terdahulu. Tulisan-tulisannya itu diberikan kepada gurunya untuk dibaca dan mendapat tanggapan positif, bahkan pujian, dari gurunya. Buku nya kemudian berhasil menarik perhatian kaum intelektual dan para ulama sezamannya sementara usianya masih relatif muda, yaitu 28 tahun. Buku nya mendapat perhatian para orientalis dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Setelah al-Juwaini wafat (1085), al-Gazali meninggalkan Nisabur menuju Muaskar untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Nizam al-Mulk, pendiri Madrasah Nizamiyah. Muaskar pada waktu itu adalah tempat pemukiman Perdana Menteri, pembesar-pembasar kerajaan, dan para ulama/intelektual terkemuka. Di sini ia menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang rutin diadakan di istana Nizam al-Mulk. Melalui forum inilah kemasyhurannya semakin meluas. Kepandaian al-Ga zali menyebabkan Perdana Menteri Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi guru besar pada Madra sah Nizamiyah di Baghdad tahun 1090 M. Ini merupakan kedudukan sangat terhormat dan merupakan prestasi puncak, dan inilah yang menjadikannya semakin populer. Akan tetapi, setelah lima tahun (1090-1095) memangku jabatan itu, ia mengundurkan diri.

Ketika itu, kehidupannya goncang karena keraguan yang meliputi dirinya, "Apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau tidak?" Perasaan syak ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari al-Juwaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terdapat kontradiksi. Al-Ga zali ragu, mana di antara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Bukunya yang berjudul al-Munqiz min ad-Dalai menjelaskan tentang keadaan ini. Dalam bukunya itu tergambar keinginannya untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Al-Gazali mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang di perolehnya melalui pancaindera sebab pancaindera sering kali salah atau berdusta. Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata juga tidak memuaskan. Tasawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam di rinya. Pengetahuan tasawuf yang diperolehnya me lalui kalbu membuat al-Gazali merasa yakin mendapatkan pengetahuan yang benar.

Dalam mempelajari filsafat, al-Gazali menemukan argumen-argumen filosofis yang dipandangnya menyalahi ajaran Islam. Karena itu, ia menyerang kaum filsuf yang diungkapkannya dalam bukunyaMaqasid al-Falasifah. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Dominicus Gundissalimus dengan judul Logica et Philosophia al-Gazelis Arabis (Logika menurut Filsuf Arab al-Gazali; 1145 M). Lalu untuk memperjelas kritiknya terhadap filsuf itu, ia menulis buku Tahafut al-Falasifah. Da lam buku itu al-Gazali mengritik 10 pendapat filsuf

yang mengatakan bahwa: 1) Tuhan tidak mempunyai sifat, 2) Tuhan mempunyai substansi sederhana (basit) dan tidak mempunyai hakikat (mahiyah), 3) Tuhan tidak mengetahui perincian (juz'iyyah), 4) Tuhan tidak dapat diberi sifat jenis (al-jins/genus) dan al-fasl (spesies), 5) planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan, 6) jiwa planet-planet mengetahui semua juz'iyyah (rincian), 7) hukum alam tidak berubah, 8) pembangkitan jasmani tidak ada, 9) alam ini tidak bermula, dan 10) alam ini kekal. Bahkan al-Gazali berpendapat bahwa tiga di antara 10 pendapat fil suf di atas, yaitu alam kekal (tidak bermula), Tuhan tidak mengetahui rincian-rincian, dan pembangkitan jasmani tidak ada, dapat membawa kepada kekufuran.

Isi pokok mengenai kecaman al-Gazali terhadap tiga persoalan itu adalah sebagai berikut. Pertama, tentang kadimnya alam (alam tidak bermula). Fil suf berpendapat bahwa alam ini qadim. Menurut al-Gazali, pendapat ini membawa kepada keyakinan akan adanya yang qadim selain Tuhan atau berarti banyak yang qadim, sedang dalam keyakinan Islam yang qadim itu hanya satu, yaitu Tuhan. Paham bahwa ada yang qadim selain Tuhan adalah syirik. Menurutnya, yang qadim itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak azali, yang berwujud tanpa sebab. Mengakui alam ini qadim berarti mengingkari Tuhan sebagai Pencipta, dan ini sama dengan kufur. Kedua, tentang pendapat bahwa Tuhan ti dak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Me nurut al-Gazali pendapat ini akan menyesatkan umat Islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan Tuhan. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Tahu. Tuhan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam sampai kepada perincian yang sekecil-kecilnya, tak satu pun yang luput dari pengetahuan Tuhan. Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Para filsuf berpendapat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur dan tidak kekal. Karena itu, pembangkitan nanti pada prinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya, tetapi pembalasan ukhrawi menuntut pembangkitan jasmani. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menyebut soal pembangkitan jas mani dengan gambaran yang bersifat materiel, sehingga meyakini tidak adanya pembangkitan jas mani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya. Ketiga pendapat di atas menurut al-Gazali menyimpang dari ajaran yang dianut umat Islam pada umumnya dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur'an, dan ia mencap para filsuf itu kafir.

Pendapat dan kritikan al-Gazali terhadap tiga persoalan falsafi yang dikemukakan oleh para filsuf di atas dikecam keras dan dikritik lagi oleh Ibnu Rusyd (1126-1198) dalam bukunya Tahafut at-Tahafut(Kekacauan dari Kekacauan). Buku itu pada intinya berisi pembelaannya terhadap filsafat dan filsuf.

Pada tahun 1095 al-Gazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun ditinggalkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama sepuluh tahun ia menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Banyak orang yang tidak mengenalnya lagi. Kemudian ia mengurung diri dalam Masjid Damascus. Di sinilah ia menulis kitabnya Ihya' 'Ulum ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fikih dan tasawuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia Islam dan masih terasa kuat sampai sekarang.

Pada tahun 1105, al-Gazali kembali kepada tugasnya semula, mengajar di Madrasah Nizamiyah, memenuhi panggilan Fakhr al-Mulk, putra Nizam al-Mulk. Akan tetapi, tugas mengajar ini tidak lama dijalankannya. la kembali ke Tus, kota kelahirannya. Di sana ia mendirikan sebuah halaqah (sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya sampai ia wafat(1111).

Kehidupan al-Gazali pada masa tuanya telah mantap coraknya menjadi seorang sufi. Sebagai su fi, ia berkeyakinan bahwa tasawuf adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran hakiki. Melalui tasawuf, seseorang dapat berada dekat dengan Tuhan, bahkan dengan kalbunya dapat melihat Tuhan. Akan tetapi, jalan untuk menjadi sufi tidaklah mudah, penuh dengan ujian dan godaan. Al-Gazali sendiri menceritakan pengalamannya, bertahun-tahun ia melatih diri, meninggalkan segala kesenangan jasmani dan semata-mata mengabdi ke pada Tuhan.

Menurut al-Gazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui oleh seorang calon sufi. 1) Tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar. Pe ngetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh

dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa. 2) Sabar. Al-Gazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang melahirkan dorongan berbuat jahat. Jika daya jiwa yang melahirkan do rongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat, maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar. Untuk mempermudah jalan menuju kesabaran, al-Gazali memberikan nasihat sebagai berikut. (a) Seseorang ha rus membatasi jumlah dan nilai makanan yang dimakannya karena dorongan syahwat kebanyakan timbul dari perut yang kenyang. (b) Seseorang ha rus memelihara pandangan matanya dari hal-hal yang mudah merangsang syahwat. Untuk itu se orang calon sufi sebaiknya menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian. (c) Seseorang harus membiasakan diri melepaskan nafsunya pada jalan yang diridai Allah. 3) Kefakiran, yaitu berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Maksudnya, meskipun calon sufi itu sedang memerlukan sesuatu, seperti makanan, namun ma kanan yang diberikan kepadanya harus diteliti de ngan seksama apakah halal, haram, atau syubhat (diragukan halal atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan itu harus ditolaknya, kendatipun makanan itu sangat diperlukannya. Untuk itu, juga harus dilihat motivasi orang yang memberinya. 4) Zuhud. Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Menurut al-Gazali, zuhud itu bertingkat-tingkat. Tingkat tertinggi adalah zuhud yang dilakukan semata-mata karena cinta kepada Allah. Untuk sampai ke tingkat ini, hati seharusnya hanya diisi dengan mengingat Allah. Ini hanya dapat diperoleh dengan me­ninggalkan semua kesenangan duniawi. 5) Tawakal. Menurut al-Gazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha Pengasih, tak pilih kasih kepada makhluknya. Ka rena itu, manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya dengan sepenuh hati. Dalam penyerahan diri kepada Allah SWT seorang sufi merasakan dirinya tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan mayat. 6) Makrifat, yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Pengetahuan yang diperoleh dari makrifat lebih bermutu daripada pengetahuan yang diperoleh akal. Makrifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan). Menurut al-Gazali, makrifat dan mahabbah adalah derajat tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Mahabbah berarti mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali da ri diri yang dikasihi (Tuhan). Kadar cinta seorang sufi ditentukan oleh kedalaman makrifat yang dimilikinya. Semakin kuat makrifatnya, semakin kuat mahabbah-nya. Penjelasan mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui untuk menjadi seorang sufi ini terdapat dalam Kitab Ihya' 'Ulum ad-Din, terutama pada jilid ketiga dan keempat.

Pemikiran lain yang dikemukakan oleh al-Gazali ialah bahwa ia membagi manusia itu menjadi dua bagian besar, khawas dan awam. Golongan awam mempunyai cara berpikir yang sederhana. Mereka hanya dapat menangkap hal-hal yang tersurat saja. Golongan khawas dapat berpikir secara mendalam, mengetahui yang tersirat di balik yang ter surat. Menghadapi dua golongan yang berbeda ini, diperlukan pendekatan yang berbeda pula. Orang awam didekati dengan cara memberi nasihat dan petunjuk-petunjuk, sedangkan orang khawas dide kati dengan cara menjelaskan hikmat-hikmat.

Sebelum al-Gazali, tasawuf belum dapat diterima secara luas di dunia Islam, khususnya di kalangan Suni karena dianggap sebagai ajaran yang menyimpang, seperti ajaran Husein bin Mansur al-Hallaj (858-922) dan sebagainya. Melalui buku-bukunya yang menjelaskan pengalaman-pengalaman tasawuf yang tidak bertentangan dengan akidah, tasawuf dapat diterima dan berkembang pesat di lingkungan ahlusunah waljamaah. Hal ini antara lain ditandai dengan timbulnya banyak aliran tarekat.

MUKTAZILAH (3)

(Arti.: Mu’tazilah). Salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Ata pada tahun 100 H/718 M.

Aliran ini muncul sebagai reaksi atas perten tangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut kaum Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan ka fir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Ata yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat bah wa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di anta ra keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir. Demikianlah pendapat Wasil, yang kemudian men-jadi salah satu doktrin Muktazilah, yakni al-Man-zilah bain al-Manzilatain(posisi di antara dua posisi).

Setelah menyatakan pendapatnya itu, Wasil bin Ata meninggalkan perguruan Hasan al-Basri lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal Muktazilah. Setelah Wasil memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata, “I’taza-la’anna Wasil(Wasil menjauhkan diri dari kita).” Menurut Syahristani, dari kata i’tazala’anna itulah lahirnya istilah Muktazilah yang artinya orang yang memisahkan diri. Pendapat lain menyatakan bahwa kata muktazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara fisik. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya.

Selain nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl at-Tauhid(golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-‘Adl(pendukung paham keadilan Tuhan), dan kelompok Kadariah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai golongan Free Will dan Free Act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.

Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis itu. Alasan lain adalah kaum Muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah SAW dan para sahabat.

Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama di kalangan intelektual, pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Kedudukan Muk tazilah menjadi semakin kokoh setelah al-Ma’mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Dalam fase kejayaannya itu, Muktazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah (inquisition). Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al-Qur’an.Kaum Muktazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur’an itu makhluk, da lam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan ber arti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-Qur’an itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan ini musyrik hukumnya.

Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun, orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting da lam pemerintahan, terutama dalam jabatan kadi. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya para aparat pemerintahan yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintahan yang disiksa, di antaranya Imam Hanbali. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mukta zilah, seperti al-Khuzzai dan al-Buwaiti. Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247 H/847-861 M) memegang tampuk pemerintahan menggantikan al-Wasiq (memerintah 228-232 H/842-847 M).

Di masa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mukta zilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik di mata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian Mazhab Muktazilah sebagai mazhab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.

Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Muktazi lah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak lama karena Bani Buwaihi segera digulingkan oleh Bani Seljuk yang pemimpinnya cenderung pada Asy’ariyah, terutama sejak pemerintahan Alp Arslan dengan perdana menterinya, Nizam al-Mulk.

Selama berabad-abad kemudian, Muktazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Di antara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan-perguruan Islam. Sebaliknya, pengetahuan tentang paham-paham mereka hanya didapati pada buku-buku lawannya, seperti buku-buku yang ditulis oleh pemuka Asy’ariyah. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Muktazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai perguruan Islam, seperti di Universitas al-Azhar. Dengan demikian pandangan terhadap Muktazilah menjadi lebih jernih dan segi-segi positif dari ajarannya serta sumbangannya terhadap kepentingan Islam mulai diketahui.

Doktrin Muktazilah.

Doktrin Muktazilah dikenal dalam bentuk lima ajaran dasar yang populer dengan istilah al-Usul al-khamsah. Kelima ajaran dasar itu adalah: at-Tauhid (tauhid), al-‘Adl (ke-adilan), al-Wa’d Wa al-Wa’id (janji dan ancaman), al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan al-Amr bi al-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-munkar (perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat). Kelima ajaran ini ada lah ajaran-ajaran yang disepakati oleh seluruh pengikut paham Muktazilah. Walaupun demikian, dalam memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ajaran-ajaran dasar itu, seringkali terdapat perbedaan di antara sesama tokoh Muktazilah. Hal ini sebenarnya wajar karena Muktazilah memberikan peranan yang sangat besar pada akal manusia.

At-Tauhid. Ajaran pertama Muktazilah ini berarti meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah SWT yang Maha Esa. Dia merupakan Zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Golongan Muktazilah menganggap konsep tauhid mereka pa ling murni, sehingga mereka senang disebut seba-gai Ahl at-Tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan paham keesaan Allah SWT, golongan Muktazilah menafikan segala sifat, sehingga mere ka sering juga disebut dengan golongan Nafy as-Sifat. Yang mereka maksudkan dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan adalah bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri di luar Zat-Nya, karena itu dapat membawa pada adanya yang kadim selain Tuhan. Semua yang dimaksudkan oleh golongan lain sebagai sifat-sifat Tuhan yang melekat pada Zat Tuhan, bagi golongan Muktazilah disebut bukan sifat Tuhan. Tegasnya, kaum Muktazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada Zat Tuhan. Kalau Tuhan dikatakan mempunyai sifat Maha Mengetahui, bagi mereka yang Maha Mengetahui itu bukan sifat-Nya melainkan Zat-Nya.

Selanjutnya, konsep tauhid Muktazilah ini mem bawa pada penolakan paham antropomorfisme. Tuhan bagi mereka tidak boleh dipersamakan de ngan makhluk-Nya, seperti mempunyai tangan dan muka. Karena itu ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk fisik (ayat-ayat tajassum) harus ditakwilkan sedemikian rupa. Paham ini juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti.

Al-‘Adi (paham keadilan). Paham keadilan Tu han dalam ajaran mereka membawa pada pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim kepada hamba-Nya. Dari sini timbul ajaran as-salah wa al-aslah.Maksudnya, Tu han wajib berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia, di antaranya Tuhan tidak boleh memberi beban yang terlalu berat kepada manusia, Tuhan wajib mengirimkan rasul dan nabi-nabi untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi, dan Tu han wajib memberikan daya pada manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Al-Wa’d Wa al-Wa’id (janji dan ancaman). Menurut Muktazilah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga dan menepati ancamannya mencampakkan orang kafir dan orang berdosa besar ke dalam neraka. Meskipun Tuhan sanggup memasukkan orang berdosa besar ke dalam surga dan menjerumuskan orang mukmin ke dalam neraka, namun Tuhan mustahil melakukan itu karena bertentangan dengan keadilan-Nya. Paham ini erat kaitannya dengan pandangan mereka bahwa manusia sendirilah yang mewu judkan perbuatan-perbuatannya melalui daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika manusia memilih untuk beriman dan berbuat baik maka kepadanya dijanjikan pahala masuk surga, sedangkan kalau mereka ingkar dan berbuat dosa, Tuhan mengancam dengan neraka.

Al-Manzilah Bain al-Manzilatain (posisi di an tara dua posisi). Paham ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazilah. Paham ini timbul setelah terjadi peristiwa antara Wasil bin Ata dan Hasan al-Basri di Basra. Bagi Muktazilah, orang yang berdosa besar bukan termasuk kafir dan bukan pula mukmin, melainkan berada di anta ra keduanya, menempati posisi antara mukmin dan kafir, yang disebut fasik. Orang berdosa besar ti dak dapat dikatakan mukmin lagi karena telah menyimpang dari ajaran Islam, sementara itu belum pula dapat digolongkan sebagai kafir karena masih mempercayai Allah SWT dan rasul-Nya. Jika orang-orang yang mendapat predikat fasik meninggal tanpa sempat bertobat, maka mereka akan dicampakkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya, hanya saja siksaan yang mereka peroleh lebih ringan dibandingkan siksaan orang kafir.

AI-Amr bi al-Ma’ruf Wa an-Nahy ‘an al-Munkar (perintah agar mengerjakan kebajikan dan melarang kemunkaran). Dalam prinsip Muktazilah, setiap muslim wajib menegakkan perbuatan yang makruf serta menjauhi perbuatan yang munkar. Berpegang pada ajaran ini, kaum Muktazilah dalam sejarah pernah melakukan pemaksaan ajaran kepada golongan lain yang dikenal dengan peristiwa mihnah, yaitu memaksakan pendapatnya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan diciptakan Tuhan. Karena itu Al-Qur’an tidak kadim. Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum. Demikianlah antara lain cara mereka menegakkan al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-munkar.

Tokoh-tokoh Muktazilah. Aliran Muktazilah melahirkan banyak pemuka dan tokoh-tokoh penting. Karena pusat pengembangan Muktazilah berada di Basra dan kemudian di Baghdad, pemuka-pemukanya pun terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok Basra dan kelompok Baghdad. Pemuka-pemuka yang tergolong dalam kelompok Basra adalah Wasil bin Ata (80 H/699 M-131 H/748 M), Amr bin Ubaid (w. 145 H), Abu Huzail al-Allaf (135-235 H), an-Nazzam (185-231 H), al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 869), dan al-Jubba’i (w. 303 H). Adapun kelompok Baghdad antara lain adalah Mu’ammar bin Abbad, Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H), Abu Musa al-Murdar (w. 226 H), Sumamah bin Asyras (w. 213 H), Ahmad bin Abi Du’ad (w. 240 H), Hisyam bin Amir al-Fuwati, dan Abu al-Husain al-Khayyat (w. 300 H).

Wasil bin Ata adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muk tazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniada an sifat-sifat Tuhan.

Abu Huzail al-Allaf. Al-Allaf adalah seorang filosof Islam. la banyak mengetahui falsafah Yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. la an tara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. la menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya, bukan sifat-Nya; demikian seterusnya. Penjelasan ini dimaksudkan oleh Abu Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Dengan demi kian ada banyak yang kadim. Ini akan membawa pada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Dengan pengetahuannya tentang yang baik dan yang buruk, manusia wajib me­ngerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi per buatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik ke pada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salah wa al-aslah.

An-NazzamPendapatnya yang terpenting ada lah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, la tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini ia berpendapat lebih jauh dari guru-nya, al-Allaf. Kalau al-Allaf mengatakan bahwa Tu han mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukan hanya mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. la berpendapat bahwa perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. la juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat Al-Qur’an. Menurutnya, mukjizat Al-Qur’an terletak pada kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa) dan balagah (retorika)-nya. la juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam ada lah segala sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah se suatu yang bersifat baru dan tidak kadim.

Al-Jahiz. Dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalisme atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum Muktazilah disebut Sunnah Allah. la antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan ma nusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh ma nusia itu sendiri, melainkan ada pengaruh hukum alam.

Al-Jubba’i. Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Tentang kalam Allah SWT ia sependapat dengan an-Nazzam. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wajibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang di ketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syar’iah). Adapun daya akal menurut al-Jubba’i sangat besar. Dengan akalnya manusia dapat mengetahui adanya Tuhan serta kewajiban bersyukur kepada-Nya. Akal manusia selanjutnya dapat mengetahui yang baik dan yang buruk serta mengetahui kewajiban berbuat yang baik dan meninggalkan yang buruk. Pendapat ini menjadi ajaran Muktazilah yang penting.

Mu’ammar bin Abbad. Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri Muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya yang penting adalah tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atauaccidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilempar ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

Bisyr al-Mu’tamir. Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungja waban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.

Abu Musa al-Mudrar. Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin Muktazilah yang sangat ekstrem, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain. Menurut Syahristani, ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Qur’an. la juga menolak pendapat bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat.

Hisyam bin Amr al-Fuwati. Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.

Sumamah bin Asyras. Ibnu Asyras berpendapat bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya karena dalam dirinya te lah tersedia daya untuk berbuat. Tentang daya akal ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum turunnya wahyu dapat mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui perbuatan baik serta perbuatan buruk wahyu turun untuk memberikan konfirmasi.

AI-Khayyat. Al-Khayyat memberikan penafsiran yang berbeda dengan pemuka Muktazilah lainnya tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan. la berpendapat bahwa jika Tuhan dikatakan berkehendak, maka kehendak Tuhan itu bukanlah sifat yang melekat pada Zat Tuhan dan bukan pula diwujudkan melalui Zat-Nya. Jadi kehendak Tuhan itu bukan Zat-Nya dan terlebih lagi bukan sifat-Nya, melainkan diinterpretasikan dengan Tuhan mengetahui dan berkuasa mewujudkan perbuatan-Nya sesuai dengan pengetahuan-Nya.

Semoga Artikel ini dapat menjawab berbagai pernyataan kaum kufar yang selama ini dengan gencar menanamkan keragu raguan tentang kebenaran Al-Qur’an, dan semoga menambah ketebalan Iman dan  Islam, juga dapat menambah ilmu dan wawasan ke Islaman bagi kita seluruh kaum muslimin khususnya bagi Mualaf.


Wassalamualaikum Wr Wb

 


Mujiarto Karuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sabily