Selasa, 27 Juli 2010

Islam Mengajarkan Kelembutan

Islam dengan ajarannya yang damai, kini diidentikkan sebagai agama yang penuh kekerasan dan intoleransi terhadap kelompok atau keyakinan lain. Akibatnya, timbul prasangka antara pemeluk Islam dengan keyakinan lain dalam berinteraksi.

Di sisi lain, sebagian kecil kelompok Islam ada yang menempuh jalur ‘kekerasan’ dalam menyelesaikan masalah yang dinilainya tak bisa lagi diatasi melalui jalur formal.

Benarkah kekerasaan dilegalkan oleh Islam? Menurut Didin Hafiduddin, salah satu ulama ternama di Indonesia, Islam tidak membenarkan cara kekerasan dan memang tidak mengajarkan tindakan kekerasan kepada umatnya.

Islam, kata Didin, mengajarkan umatnya agar berlaku lembut dalam mengajak kepada kebaikan, tetapi berlaku tegas dalam menentang kemungkaran yang dihadapinya.

Umat Islam didorong untuk menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar atau mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sayangnya, ketika umat Islam bersikap 
tegas terhadap kemungkaran sering kali disalahartikan sebagai sebuah tindak kekerasan.

Harus ada pemahaman yang jernih bahwa langkah umat Islam menentang kemungkaran sebagai hal yang diperlukan. Tentu, ada latar belakang ketika umat Islam sangat tegas memberangus kemungkaran.

Hal senada juga ditegaskan Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Said Agil Siradj. Nabi Muhammad, kata Said, mengajarkan bahwa seorang Muslim tidak dibenarkan menebar ancaman kepada sesama Muslim, bahkan terhadap orang di luar Islam sekalipun.

Dalam rentang sejarah Islam – bukan dalam ajaran Islam – memang pernah terjadi kekerasan. Namun itu dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang tak paham benar 
ajaran Islam. Mereka tidak memahami inti ajaran Islam dan hanya memahami Islam secara legal formal.

Said menyontohkan bagaimana Ali bin Abu Thalib ditikam oleh Abdurahman bin Mulzam, sesama Muslim, saat khusyu menunaikan shalat Subuh. Tapi, mengapa Abdurahman yang hafal Alquran dan kerap menjalankan shalat di sepertiga malam itu tega membunuh sepupu dan menantu Muhammad? “Si pelaku kekarasan hanya 
sebatas hafal Alquran, namun tak mengamalkan ajarannya,’’ tegas Said.

Terkait hal itu, Muhammad SAW pernah berujar, suatu saat nanti akan ada orang 
yang hafal Alquran, namun tak mampu menghayati ajarannya. Hal inilah, kata Said, yang terjadi pada pembunuh khalifah keempat dalam sejarah Islam, Ali bin Abu Thalib.

Said menambahkan, kekerasan itu juga disebabkan faktor kemiskinan. Namun, ketidakadilan serta skenario musuh Islam menjadi penyebab pula tindak kekerasan itu. 
Nah, kondisi inilah yang kemudian mendorong umat Islam melakukan perlawanan dengan menggunakan cara-cara yang dikategorikan sebagai kekerasan.

Said juga menyontohkan kondisi yang memang diciptakan oleh musuh-musuh Islam. Misalnya, negara adi daya yang sengaja membentuk atau membina sebuah kelompok yang diisi oleh umat Islam. Kelompok ini dirancang untuk melakukan kekerasan sehingga umat Islam dicitrakan gemar melakukan kekerasan. Dan pada gilirannya negara yang bersekutu tersebut mendapat legitimasi melakukan kekerasan terhadap umat Islam.

Bagi Said, hal yang paling baik dilakukan umat Islam dalam menghadapi ketidakadilan atau pun kekerasan dari negara yang tidak menyukai Islam adalah tetap dengan cara yang tak mengedepankan kekerasan.’’Cara-cara yang santun harus tetap dikedepankan,’’ tegasnya.

Penyelesaian yang persuasif

Sementara itu, Direktur International Center for Islam and Pluralism (ICIP), Syafii Anwar, megatakan bahwa kekerasan merupakan sebuah kemunduran besar dalam 
kebebasan beragama. Lepas dari perbedaan pandangan yang terjadi antara pemeluk agama maupun antarpemeluk agama, mestinya radikalisme yang terkadang diungkapkan 
dengan kekerasan tidak boleh terjadi.

Kalau memang ada perbedaan pandangan, penyelesaian lebih baik dilakukan dengan cara-cara yang persuasif. Bukankah Islam memberikan model-model penyelesaian dengan cara yang santun dan bijaksana? Bukan dengan cara-cara kekerasan.

Menurut Syafii, pendidikan akan menjadi cara yang baik untuk mencegah terjadinya kekerasan di tengah masyarakat. Terutama pendidikan tentang keragaman di dalam masyarakat.

Pendidikan mengenai keragaman ini – bukan berarti mengajarkan bahwa semua agama sama – akan memberikan kesadaran bahwa ada orang lain yang berbeda pandangan 
atau keyakinan dengan kita.

Meski Syafii mengakui bahwa proses pendidikan ini akan memakan waktu lama, namun hasilnya juga akan sangat menggembirakan. “Akan ada pemahaman di kalangan mayarakat untuk saling menghormati dan menyelesaikan segala masalah dengan cara berdialog. Juga tak ada suatu kelompok yang menganggap dirinya paling benar,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sabily