MENARIK apa yang ditulis sejarawan Muslim Indonesia Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah tentang penolakan Raden Ajeng (RA) Kartini terhadap politik Kristenisasi di Tanah Jawa. Tak banyak buku sejarah yang mengungkap hal ini. Boleh jadi, pihak Barat dan kaum sekuler sengaja menutup-nutupi fakta sejarah ini. Setidaknya ini membuka ca krawala baru bagi penikmat sejarah.
Siapa
nyana, RA Kartini pernah menolak ajakan sahabat penanya Ny. Van Kol --
asal Belanda itu -- untuk memeluk agama Kristen. Bagi Kartini,
beragama Kristen sangat merendahkan derajatnya. Ini, bukti, Kartini
memiliki ketauhidan (Islam) yang sangat kokoh, ketika itu.
Dari surat-suratnya yang dikenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht), ternyata
RA Kartini tidak hanya menentang adat, tetapi juga menentang politik
Kristenisasi dan Westernisasi. Dari surat-surat RA Kartini terbaca
tentang nilai Islam dimata rakyat terjajah saat itu. Islam dalam
pandangan Kartini adalah martabat peradaban bangsa Indonesia.
Sebaliknya, Kristen dinilai merendahkan derajat bangsa, karena para
gerejawannya memihak kepada politik imperialisme dan kapitalisme.
Ketika
Ny. Van Kol mengajaknya untuk masuk agama Kristen, Kartini menolaknya,
seraya mengatakan, “Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama
kami yang sekarang ini (Islam).” Selanjutnya, Kartini berbalik
mengingatkan Ny. Van Kol agar Barat dapat bertoleransi terhadap agama
Islam.
Suratnya kepada E.C Abendanon dalam Habis Gelap Terbitlah Terang,
Kartini juga mengingatkan: “Zending Protestan jangan bekerja dengan
mengibarkan panji-panji agama. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama
Nasrani. Hal ini akan membuat Zending memandang penduduk Islam sebagai
musuhnya. Dampaknya, semua agama akan menjauhi Zending.”
Mengapa
demikian? RA Kartini menjelaskan, “Orang Islam umumnya memandang
rendah kepada orang yang tadinya seagama dengan dia, lalu melepaskan
keyakinannya sendiri memeluk agama lain.”
Kartini
mengatakan,”Karena yang dipeluknya agama orang Belanda, sangka dia
sama tinggi derajatnya dengan orang-orang Belanda.” Yang menarik,
Kartini memberi petunjuk kepada Zending Protestan, agar Zending
mengajarkan ketauhidan seperti yang telah melekat pada keimanan Islami
di hati bangsa Indonesia. “Janganlah menasranikan orang,” kata Kartini
31 Januari 1903 M.
Sikap
Kartini yang istiqamah, nampak setelah ia membaca Tafsir Al-Qur’an.
Kekagumannya terhadap nilai ajaran Al-Qur’an dituturkan kepada E.C
Abendanon: “Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada
tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami”.(15
Agustus 1902).
RA
Kartini menilai Al-Qur’an sebagai gunung kekayaan yang telah lama ada
disampingnya. Akibat pendidikan Barat, Al-Qur’an menjadi terlupakan.
Namun, setelah Tafsir Al-Qur’an dibacanya, Kartini melihat Al-Qur’an
sebagai gunung keagungan hakikat kehidupan.
RA
Kartini dengan surat-suratnya memberikan gambaran, bahwa agama Kristen
atau Katolik tidak mendapatkan tempat di hati rakyat Indonesia. Hal
ini disebabkan Agama Protestan sebagai agama penjajah Belanda. Demikian
pula Katolik dikembangkan oleh penjajah Portugis, sebelum penjajah
Protestan Belanda.
“Jika
demikian faktar sejarah yang sebenarnya, timbul pertanyaan, apakah
benar teks dalam Diorama Monumen Nasional, Katolik dan Protestan sebagai
pemersatu bangsa?” tanya Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan Muslim
asal Bandung itu.
Ahmad
Mansur sangat menyayangkan jika umat Islam di Indonesia belum menggali
sejarah bangsanya sendiri, terutama ulamanya. Kata Mansur, Ulama hanya
mampu membaca abunya sejarah, tetapi tidak dapat menangkap apinya
sejarah. Para ulama selalu disibukkan oleh masalah fiqhiyah, sehingga
membiarkan masalah distorsi penulisan sejarah di sekitarnya tak
terjawab.
Akibatnya,
pemerintah kolonial Belanda lah yang mengadakan pemugaran dan
penulisan sejarah Indonesia dengan penyimpangan-penyimpangannya.
Termasuk mengagung-agungkan kisah masa jaya dan keemasan Hindu dan
Buddha. Bahkan kolonial Barat berusaha memadamkan cahaya Islam melalui
penulisan sejarah yang sengaja digelapkan.
“Melalui
interpretasi sejarah, pemerintah Kolonial Belanda mencoba membentuk
opini public bangsa Indonesia agar berpendapat bahwa Islam sebagai agama
asing dari Arab, dan kedatangan Islam dianggap merugikan bangsa
Indonesia. Sebuah penulisan sejarah yang keliru besar,” kata Mansur.
Menurut
Mansur, RA Kartini benar-benar memperjuangkan anak bangsa agar
memperoleh kesempatan pendidikan, sekalipun bukan dari suku Jawa. Lagi
pula RA Kartini bukan dari kalangan Kejawen. Kebangkitan juangnua sangat
dipengaruhi oleh ajaran Al-Qur’an. Lingkungan kehidupan Kabupaten
Jepara merupakan medan persemaian tumbuh kembangnya ajaran Islam di
kalangan Bupati yang berpikiran maju sejalan dengan gerakan kaum muda.
Terlepas dari kritikan yang menyebut alam pemikiran Kartini sangat
bercorak Theosofi, sebuah organisasi kebatinan Yahudi yang
keberadaannya sempat dilarang oleh pemerintah RI. Setidaknya apa yang
diungkap sejarawan Muslim Ahmad Mansur Suryanegara adalah sisi lain
sosok Kartini yang tak banyak diungkap sejarawan lain, bahwa ia pernah
menolak ajakan Ny. Van Kol untuk masuk agama Kristen dan menentang
politik Kristenisasi dan westernisasi di negeri ini. Wallohu’alam bisshowab. (sumber: voa-Islam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar