(Tanggapan untuk Tulisan KH. Said Aqil Siradj)
Oleh: Artawijaya
Wartawan dan Penulis Buku
PASCA serangan bom
bunuh diri di GBIS Kepunton Solo, perbincangan mengenai kaitan antara
terorisme dan doktrin Wahabi kembali mencuat di media massa. Setidaknya
hal itu tercermin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj pada harian
Republika (3/10/2011). Artikel berjudul “Radikalisme, Hukum, dan Dakwah”
ini menarik untuk dicermati, karena KH Said Aqil telah mengaitkan
antara pergerakan dakwah Wahabi dengan radikalisme. Beliau bahkan
membuat istilah baru tentang dakwah Wahabi, yaitu “ideologi puritanisme
radikal.”
Kita tentu bersyukur, seorang ketua
umum sebuah organisasi massa besar seperti KH Said Aqil Siradj begitu
peduli terhadap teror bom yang banyak menimbulkan korban dari masyarakat
yang tak bersalah. Bahkan sebenarnya bukan hanya KH Said Aqil Siradj,
tokoh yang sering dikait-kaitkan dengan kasus terorisme seperti KH Abu
Bakar Ba’asyir (ABB) pun mengecam aksi bom di Cirebon dan Solo sebagai
tindakan ngawur yang jauh dari pemahaman syariat. Pada beberapa
kesempatan, ABB menyatakan bahwa Indonesia adalah wilayah aman yang
karenanya Islam harus ditegakkan lewat cara-cara damai.
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi
dari artikel Kiai Said di atas, yang terkesan seperti menabur angin,
mengenai siapa saja yang dianggap sebagai Wahabi. Dalam beberapa
alineanya, artikel tersebut bahkan seperti mengumbar stigma yang gebyah uyah.
Jika tak dikritisi, tulisan tersebut bisa menimbulkan ragam penafsiran
di masyarakat dan generalisasi terhadap kelompok yang dituduh mengusung
dakwah Wahabi. Sehingga hal ini bisa berpotensi memicu konflik sosial di
akar rumput, sebagaimana terjadi pada sebuah pengajian hadits di
Klaten, Jawa Tengah, yang nyaris dipaksa bubar karena dianggap bagian
dari dakwah Wahabi.
....Jika tak dikritisi, tulisan Kiai Said
berpotensi memicu konflik sosial di akar rumput, seperti terjadi di
sebuah pengajian hadits di Klaten, yang nyaris dipaksa bubar karena
dianggap dakwah Wahabi....
Di antara kalimat yang bisa menimbulkan
bias pemahaman dan stigma dari tulisan KH Said Aqil adalah, “Kita bisa
mencermati pergerakan paham Wahabi di negeri kita yang secara
mengendap-endap telah memasuki wilayah pendidikan dengan menyuntikkan
ideologi puritanisme radikal, semisal penyesatan terhadap kelompok lain
hanya karena soal beda masalah ibadah lainnya. Di berbagai daerah bahkan
sudah terjadi ‘tawuran’ akibat model dakwah Wahabi yang tak menghargai
perbedaan pandangan antar-muslim. Model dakwah semacam ini bisa
berpotensi menjadi ‘cikal bakal’ radikalisme.”
Pada alinea lain, KH Said Aqil
mengusulkan agar dilakukan “sterilisasi” masjid-masjid yang berpotensi
menjadi sarang kelompok puritan radikal, sebuah kelompok yang menurutnya
seringkali menimbulkan “tawuran” di tengah masyarakat. Dalam kesempatan
lain, KH Said Aqil bahkan meminta masyarakat untuk mewaspadai 12
yayasan dari Timur Tengah yang ditengarai mendapat suntikan dana dari
kelompok Wahabi. Tulisan KH. Said Aqil Siradj yang dimuat dalam harian
ini seolah menyatakan bahwa memerangi ideologi teror sama dengan
memerangi ideologi puritan radikal yang diusung oleh kelompok yang ia
sebut sebagai Wahabi. Kelompok yang saat ini menurutnya mengendap-endap
di dunia pendidikan, membawa suntikan beracun berisi “ideologi puritan
radikal”.
Antara Wahabi dan Terorisme
Stigma Wahabi merujuk pada sosok ulama
abad ke-18 bernama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimy An-Najdi.
Gerakan dakwahnya mengusung tajdid dan tashfiyah (pembaharuan dan
pemurnian) akidah kaum muslimin dari beragam kemusyrikan dan amaliah
yang tidak diajarkan oleh Islam. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah
seorang dai yang tak pernah menyebut kiprah dakwahnya dengan penamaan
dakwah Wahabi atau tak pernah mendirikan organisasi dakwah bernama
Wahabi. Istilah Wahabi baru muncul belakangan, itupun dengan tujuan
stigmatisasi oleh mereka yang tak setuju dengan pemikiran yang diusung
dalam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Di Indonesia, stigma Wahabi juga pernah
dilekatkan pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan
Persatuan Islam (PERSIS). Tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, Syaikh
Ahmad Soorkati, Ahmad Hassan, dianggap sebagai pengusung paham Wahabi
di Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pahlawan nasional Tuanku Imam
Bonjol pun pernah disebut sebagai pengusung dakwah Wahabi. Baik Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab ataupun generasi dakwah selanjutnya di seluruh
dunia yang sepaham dengan pemikirannya tak pernah ada yang dengan tegas
menyatakan dirinya sebagai Wahabi.
KH Said Aqil Siradj dalam tulisannya
tak menjelaskan siapa saja atau kelompok mana saja yang masuk dalam
kategori puritan radikal pengusung dakwah Wahabi. Ia hanya menjelaskan,
kelompok tersebut tak menghargai perbedaan dan mudah memberikan label
sesat pada sesama Muslim lainnya. Sama tak jelasnya, ketika ia
melontarkan pernyataan bahwa ada 12 yayasan milik Wahabi yang perlu
diwaspadai yang kini beroperasi di Indonesia. Apa saja yayasan itu,
kenapa perlu diwaspadai, adakah pelanggaran baik dari sisi hukum
nasional ataupun hukum Islam dari 12 yayasan tersebut sehingga layak
untuk diwaspadai tak pernah dijabarkan. Sekali lagi, apa yang
dilontarkan KH Said Aqil seperti menabur angin, menerpa siapa saja yang
dianggap sebagai Wahabi.
Jika merujuk pada banyak kasus yang
terjadi di basis-basis NU, maka kelompok puritan radikal atau Wahabi
yang dimaksud KH Said Aqil adalah mereka yang membid’ahkan tahlilan,
tawassul, ziarah kubur, maulid Nabi, dan amaliah lainnya yang menjadi
tradisi di kalangan Nahdliyin. Kriteria inilah yang sering diungkapkan
oleh KH Said Aqil di media massa ketika menyoroti kiprah kelompok yang
ia sebut sebagai “Wahabi.” Namun, adakah kaitannya antara kelompok yang
berdakwah untuk menjauhi bid’ah dalam urusan ibadah dengan kelompok
teroris?
Nyatanya seluruh ormas Islam di
Indonesia, baik yang meyakini bolehnya tahlilan atau tidak, sepakat
bahwa aksi pengeboman di zona damai adalah perbuatan yang diharamkan
Islam, apalagi pemboman yang terjadi di tempat ibadah. Bom yang
dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan jihad tentu mencoreng nama
Islam. Islam mengajarkan syariat jihad dengan batasan dan aturan yang
ketat dan rinci. Jihad tidak mengedepankan hawa nafsu dan serampangan.
Jihad sangat menghargai nilai-nilai dan hak asasi manusia, termasuk di
dalamnya hak-hak sipil. Dalam perang, musuh yang menjadi target adalah
para combatan dan basis-basis militer, bukan orang-orang sipil,
fasilitas umum, dan tempat-tempat ibadah.
....menyebut dakwah Wahabi sebagai
kontributor aksi teror bom tak pernah bisa dibuktikan. Stigmatisasi itu
tak lebih daripada memukul bayang-bayang....
Akhirul kalam, menyebut dakwah Wahabi
sebagai kontributor aksi teror bom tak pernah bisa dibuktikan dengan
jelas. Stigmatisasi itu tak lebih daripada memukul bayang-bayang. Kita
tentu tak sepakat dengan sekelompok orang yang mudah mengafirkan muslim
lainnya hanya karena urusan khilafiyah. Kita juga tak setuju dengan
pola-pola dakwah yang eksklusif, merasa paling benar, dan jauh dari
nilai-nilai akhlaqul karimah.
Jika ada perbedaan dalam urusan dakwah,
maka selesaikan dengan jalan dialog. Begitupun jika terjadi perbedaan
pendapat dalam hal furu’iyah maka kedepankanlah sikap tasamuh
(toleran). Stigmatisasi yang tak jelas di tengah prahara terorisme
akan menambah beban masalah yang melebar ke mana-mana. Selain persoalan
ideologi yang menyimpang, akar dari terorisme adalah ketidakadilan
global yang melanda negeri-negeri Muslim. [Sumber: Republika]